Artikel ini kutulis untuk keperluan ikut lomba IDBerkibar dan karena waktu itu ada banner (baru tau buatnya malam itu hehe) alhasil g tau cara settingannya hehehhe jadi deh berantakan. So, inilah versi rapinya hohoho..
Saya bukanlah mantan siswa disekolah
International ataupun sekolah swasta yang wah tetapi saya bersyukur sekolahku
dan guruku layak dibanggakan. Dari bangunan yang enak dipandang, fasilitas yang
enak dinikmati serta didukung oleh guru-guru yang berdedikasi. Berdedikasi
bagiku saat itu adalah para guru yang setiap hari datang ke kelas untuk mengajar.
Berdedikasi juga buatku dulu adalah para guru yang penuh perhatian pada kami
siswanya sehingga kami (atau setidaknya saya) merasa bukan hanya siswa tetapi
anak “kandung” beliau. Mereka tetaplah
memiliki keterbatasan : beberapa guru memiliki cara mengajar yang kurang
kreatif (maap ya, Bapak Ibu), hanya mendikte
dan mengajar dari 1 sumber buku. Tetapi hal tersebut tidak mengubah
pendapatku, bagiku mereka tetap guru-guru yang tiada duanya.
Hal ini berbeda dengan yang
dialami siswa di asrama kami. Kota mereka ini sangatlah indah, kota yang sejuk dengan
pemandangan yang membuat berhenti bernafas sejenak tetapi, tidak demikian
dengan kehidupan pendidikannya. Setidaknya itulah gambaran yang kudapat sejak
beberap bulan disini. Gambaran yang kudapat dari celotehan lugu anak-anak
asrama kami. Siswa
asrama kami adalah anak putus sekolah yang karena banyak alasan tidak dapat
melanjutkan sekolahnya dan sebagian besar karena ketidakadaan biaya. Padahal
mereka tetaplah anak-anak yang berpotensi dan kelak menjadi generasi penerus
bangsa.
Hanya dalam hitungan
beberapa bulan, saya semakin menyadari kalau Indonesia kadang melupakan saudara
kandung kita ini, jangankan pemerintah, kita sendiri (termasuk saya) ajaib
kalau mengingat kota di Timut Matahari ini. Kota yang memberikanku pandangan baru
mengenai pendidikan, khususnya guru. Sosok pahlawan tanpa jasa ini menjadi
profesi yang sangat diharapkan. Salah satu alasannya karena para gurulah yang
diharapkan mengubah anak-anak ini menjadi lebih “beradab”. Miris sekali waktu siswa
kami mengatakan bahwa dikampung, mereka menggunakan deterjen sebagai sabun
sekaligus shampo, itu sudah dianggap kemajuan. Sebelumnya mereka sangat jarang
mandi, mereka kadang mandi hanya sekali dalam 3 atau 4 hari bahkan seminggu
sekali. Kebersihan masih belum menjadi fokus utama mereka sehingga tak sedikit
dari mereka menderita penyakit kulit. Luka yang ada pun dibiarkan sembuh dengan
sendirinya. Berharap pendidikan dapat memiliki andil untuk hal tersebut.
Mereka juga menganggap film di TV adalah kenyataan
bukan sandiwara semata. Padahal sebelumnya saya menganggap siswa SMP pun pasti
mengetahui jika film di TV hanyalah rekayasa semata. Pemikiran itu berubah saat
menemai beberapa siswa menonton di waktu senggang mereka. Salah satu siswa
berkata, “Kakak ini betul kan bukan tipu-tipu?”. Ya berharap dibidang ini pun
pendidikan memiliki andil. Pendidikan dapat mengubah mereka menjadi sosok yang
melek teknologi.
September lalu saat saya memberikan soal Matematika
mengenai pembagian, mereka tidak bisa menjawab dengan benar, pikirku inikan
pembagian 5 jadi gampang hitungnya dan barulah beberapa hari kemudian saya
mendapatkan jawaban dari kebingunganku. Jawaban jujur itu kudapat saat bersama
siswa memasak di dapur, para siswaku berkata bahwa dikampung mereka tidak
diajarkan Matematika dan Bahasa Inggris dan sedihnya salah satu siswa
mengeluarkan pernyataan demikian: “Guru tidak mau mengajar karena desa kami
jauh (perlu kurang lebih 4 jam berkendaraan dan dilanjutkan 3 jam berjalan
kaki) tetapi hanya ingin gaji saja”.
Bukan hakku untuk menghakimi para guru, mungkin
sebenarnya ada niat untuk menjadi pengajar yang berdedikasi, tetapi apa daya
lingkungan yang tidak memadai. Desa mereka memang jauh, ditambah lagi sinyal
telefon yang tidak baik sehingga perlu perjuangan untuk berkomunikasi dengan
dunia luar. Sekarangpun kami pihak asrama sulit mengontak siswa kami yang telah
lulus, ya mereka perlu berada di titik-titik tertentu agar mendapatkan sinyal,
salah satunya pohon harapan (harapan mendapatkan sinyal). Sama halnya dengan
telefon, sulit pula berinternet di daerah itu, sulit untuk sekedar mengganti
status di Facebook. Padahal tidak dapat dipungkiri telekomunikasi dan
komunikasi adalah hal yang penting, apalagi kebanyakan guru adalah pendatang.
Ah fakta-fakta tersebut tetaplah membuat hati miris
mendengarnya.
Semoga kehadiranku disini yang awalnya menggebu, tidak
akan berakhir dengan kemirisan juga. Semoga saya dapat pula menjadi seperti
rekan-rekan yang mengabdi di Indonesia Mengajar.
Semoga sayapun tetap memiliki hati bagi anak-anak,
sama seperti beberapa guru TK yang dikirim ke desa pedalaman untuk mengajar
membaca di sana.
Ya semoga pendidikan di negara kita benar-benar maju,
bukan hanya dari segi fasilitas tetapi lebih kepada kualitas pendidikan yang
merata di setiap kota, setiap kabupaten, kecamatan, kelurahan dan desa
terpencil sekalipun.
Terima kasih untuk setiap pendidik apapun gelar
kalian, tetaplah berjuang dan berdoa bagi dunia pendidikan kita.
Kuakhiri tulisan ini dengan mengutip salah satu
kalimat di buku Indonesia Mengajar : Mendidik adalah tanggungjawab
setiap orang terdidik, berarti anak-anak yang tidak terdidik di negara ini
adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki negara kita (Anies Baswedan & Rahmat
Danu Andika).
Ah, tulisan ini membuatku tak
sabar menunggu siswa angkatan ke II dan berharap kelak ada siswa yang
mengatakan padaku, “Guruku, Pahlawanku”.
0 komentar:
Posting Komentar